Pasang Iklan Gratis

Lirboyo, lentera yang tak pernah padam

Beberapa hari lalu, publik digemparkan oleh tayangan televisi yang menyinggung tradisi pesantren. Di ruang digital yang gaduh, berbagai reaksi pun bermunculan mulai dari kecaman, klarifikasi, hingga permintaan maaf.

Namun di balik polemik itu, ada pelajaran berharga yang patut direnungi betapa sering kita lupa memahami pesantren bukan hanya sebagai lembaga pendidikan agama, melainkan sebagai lentera peradaban yang selama lebih dari satu abad menerangi jalan bangsa.

Di antara lntera-lentera itu, Pondok Pesantren Lirboyo di Kediri berdiri tegak sebagai simbol keilmuan, kesederhanaan, dan keteguhan moral.

Lirboyo bukan sekadar pesantren tua, tapi saksi sejarah perjuangan bangsa. Didirikan tahun 1910 oleh KH Abdul Karim, pesantren ini lahir di tengah kondisi sosial yang keras. Kala itu, Kediri masih dikenal rawan kejahatan, dan masyarakatnya haus akan penerang rohani. Dari desa kecil itulah, Lirboyo tumbuh menjadi mercusuar ilmu dan akhlak.

Sejarah mencatat, para santri Lirboyo tak hanya duduk di depan kitab, tetapi juga turun ke medan juang saat republik ini baru berdiri. Mereka ikut melucuti tentara Jepang dan melawan pasukan Sekutu di Surabaya dalam semangat Resolusi Jihad yang dikumandangkan KH Hasyim Asy’ari.

Ratusan santri berangkat dari pesantren membawa semangat jihad mempertahankan kemerdekaan. Tidak satu pun dari mereka yang kembali sebagai pengkhianat bangsa. Semuanya kembali dengan kepala tegak, membawa kisah tentang iman yang berani.

Tradisi perjuangan itu menjadi fondasi yang terus diwariskan. Dalam setiap langkah santri, ada pesan yang bergaung dari masa lalu, yakni belajar bukan sekadar menambah pengetahuan, tetapi meneguhkan makna pengabdian.

Kelas, kitab, dan karakter

Dalam perjalanannya, Lirboyo bukan hanya menjaga tradisi, tetapi juga beradaptasi dengan zaman tanpa kehilangan jati diri. Sejak 1925, pesantren ini telah menerapkan sistem kelas formal melalui Madrasah Hidayatul Mubtadiin, seratus tahun sebelum banyak pesantren lain mengikuti langkah serupa.

Namun, modernisasi di Lirboyo tidak berarti meninggalkan metode lama. Tradisi sorogan dan bandongan tetap dijaga sebagai jembatan spiritual antara santri dan guru.

Kini, puluhan ribu santri menimba ilmu di kompleks Lirboyo yang luas, dengan fasilitas lengkap mulai dari laboratorium bahasa hingga rumah sakit umum. Tapi ruhnya tetap sama, yakni keikhlasan, kesederhanaan, dan ta’dzim kepada guru.

Di sinilah letak salah satu kesalahpahaman terbesar ketika media, dalam niatnya mengungkap fenomena, justru melihat pesantren dari luar pagar. Apa yang tampak sederhana, kadang dianggap kolot.

Apa yang tampak ritual, kadang dituding irasional. Padahal di balik itu semua tersimpan struktur nilai yang rapi, yakni penghormatan, adab, dan spiritualitas yang menuntun manusia mengenal hakikat dirinya.

Memahami budaya

Kasus tayangan yang menyinggung kalangan pesantren beberapa waktu lalu menjadi pengingat keras bagi dunia media. Dalam etika jurnalistik, ada kaidah yang kerap dilupakan yaitu memahami konteks budaya sama pentingnya dengan menyajikan fakta.

Pesantren bukan sekadar objek berita; ia adalah ekosistem nilai. Setiap gerak santri, tradisi sowan, atau kebiasaan berebut air bekas minum kiai, semuanya memiliki makna spiritual yang tidak bisa diterjemahkan dengan logika linier semata.

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah menyebut pesantren sebagai subkultur, sebuah dunia dengan tata nilai dan logika tersendiri yang melengkapi mozaik kebudayaan nasional. Dalam bahasa lain, pesantren adalah miniatur Indonesia yang damai dan beradab, tempat ilmu dan keimanan berdialog tanpa saling meniadakan.

Oleh karena itu, setiap peliputan tentang pesantren semestinya diiringi dengan empati kultural yakni kemampuan untuk menafsir bukan hanya “apa yang tampak,” tapi “apa yang dimaknai.”

Kesalahan memahami bisa menjelma jadi kesalahan persepsi publik. Di era viral, dampaknya bukan lagi sebatas berita salah konteks, tapi bisa menjadi luka kolektif yang menggores kehormatan para guru bangsa.

Pesantren Lirboyo adalah potret paling utuh dari Islam Nusantara, yakni teduh, toleran, tapi tegas menjaga prinsip. Di tangan para kiai seperti KH Marzuqi Dahlan, KH Mahrus Aly, hingga KH Anwar Manshur, Lirboyo tumbuh sebagai pusat pengkaderan ulama yang berilmu dan berakhlak. Dari sini lahir ribuan alumni yang kini mengabdi sebagai guru, dai, birokrat, akademisi, bahkan wirausahawan di berbagai daerah.

Lebih dari sekadar lembaga pendidikan, Lirboyo adalah pabrik peradaban. Ia membentuk generasi yang tidak hanya cerdas, tapi juga siap melayani umat.

Ketika pandemi melanda, Lirboyo menjadi pesantren tangguh. Model ketahanan sosial yang menyeimbangkan protokol kesehatan dan ibadah. Saat bangsa ini sibuk mencari teladan integritas, pesantren seperti Lirboyo hadir dengan teladan diam--istiqamah.

Pelajaran

Permintaan maaf terbuka dari stasiun televisi yang bersangkutan tentu langkah yang patut diapresiasi. Namun yang lebih penting adalah menjadikannya pelajaran kolektif bagi seluruh pelaku media di Indonesia

Media memiliki kekuatan membentuk persepsi publik. Karena itu, tanggung jawabnya tidak hanya pada kecepatan dan sensasi, tetapi pada kedalaman dan kepekaan moral.

Dalam memberitakan dunia pesantren, wartawan tidak sedang meliput “yang asing”, melainkan menggali kembali akar kebijaksanaan bangsa sendiri.

Sebaliknya, dunia pesantren juga perlu membuka ruang dialog dengan media. Transparansi, literasi digital, dan kemampuan komunikasi publik perlu terus diperkuat agar pesan moral pesantren dapat tersampaikan dengan jernih di tengah arus informasi yang deras.

Ketika dua dunia ini, yaitu media dan pesantren, bersedia saling memahami, yang lahir bukan lagi benturan persepsi, melainkan sinergi antara pengetahuan dan nilai.

Menjaga lentera bangsa

Lebih dari satu abad, Lirboyo menyalakan lentera keilmuan dari ruang-ruang sederhana di Kediri hingga ke pelosok nusantara. Lentera itu telah menerangi banyak jalan gelap mulai dari kolonialisme, krisis moral, hingga kebodohan.

Kini, di tengah hiruk-pikuk zaman digital, lentera itu tetap menyala, seakan mengingatkan bahwa keberadaban tidak lahir dari sorotan kamera, melainkan dari kesabaran, doa, dan ilmu yang diamalkan.

Polemik tayangan televisi mungkin akan berlalu, tapi makna Lirboyo tak akan pernah padam. Ia akan terus berdiri sebagai simbol bahwa bangsa ini masih punya rumah kebijaksanaan, tempat nilai dan akal sehat bertemu, dan tempat setiap anak negeri belajar untuk tidak hanya pintar, tetapi juga benar.

0 Response to "Lirboyo, lentera yang tak pernah padam"

Posting Komentar